Hidup Selaras Dengan Alam : Belajar Stoikisme Dalam Kehidupan Sehari Hari
Saya yakin Tuhan menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini dengan tujuan. Semua memiliki perannya masing-masing. Binatang yang tidak memiliki nalar atau akal, hanya dibekali nafsu dan insting berburu, juga memainkan peran tertentu. Ambil contoh seekor ular di persawahan: ia memangsa tikus yang menjadi hama tanaman. Namun, terkadang kita mendengar berita seekor ular memangsa hewan ternak.
Meski begitu, ular hanya menjalankan perannya sebagai makhluk yang dibekali insting berburu. Ia hidup selaras dengan alam.
Manusia, di sisi lain, memiliki peran yang lebih besar. Tidak memandang ras, suku, atau agama, kita diberi akal dan nalar selain hawa nafsu. Akal ini adalah "rem" bagi nafsu kita. Bahkan, emosi dan perasaan negatif bisa kita kendalikan dengan nalar.
![]() |
| gambar : ilustrasi manusia dengan akal pikiran |
Dalam prinsip utama Stoikisme, satu-satunya hal yang membedakan manusia dengan binatang adalah akal dan nalar. Secara alami, manusia dirancang untuk menggunakan akal tersebut sebaik-baiknya, membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Seekor ular, misalnya, hanya mengandalkan instingnya—kadang ia membantu manusia dengan memangsa hama di sawah, tetapi di lain waktu ia juga memangsa ternak.
Namun, jika kita tidak menggunakan akal, apakah kita hidup selaras dengan alam? Apa bedanya kita dengan binatang jika hidup hanya mengandalkan insting atau hawa nafsu?
Saya sendiri sebagai orang tua sering kali dihadapkan pada ujian ini. Jujur, saya terkadang masih terbawa emosi saat melihat tingkah laku anak saya. Usianya baru lima tahun saat saya menulis ini. Mainannya sering berserakan di seluruh sudut ruangan. Pernah suatu kali, gelas kaca jatuh dan pecah karena tak sengaja ia senggol.
Namun, ketika saya pikir kembali, anak saya baru lima tahun. Masih banyak hal yang belum ia tahu, dan akalnya belum berkembang seperti orang dewasa. Justru saya, sebagai orang tua, yang seharusnya menggunakan akal dan nalar untuk menasihatinya dengan cara yang baik. Bukan dengan marah-marah.
Jika saya marah tanpa alasan yang jelas, maka saya sendiri yang tidak hidup selaras dengan alam. Itu artinya, saya telah mengabaikan akal dan nalar yang Tuhan anugerahkan kepada saya. Memalukan, bukan?

Komentar
Posting Komentar